Part 7 Leha-leha di HCMC City edisi Backpacker Suite Inn dan sekitarnya

Wednesday, December 31, 2014

Kesan pertama masuk hostel ini. Keren. Si Resepsionis yang modis dan ramah menyambut. Dia bilang, pasti Yudi yah dari Indonesia. Wow. Bagus juga yah pelatihan resepsionis di Vietnam ini. Servisnya mantap. Gak bakalan dicukoi alias dicuekin kayak di P*lem*ang. Ahaha. Namanya Kuang. Friendly and so helpful. Nilai 10 dari 10. Bakat banget jadi frontliner hotel. Dia  kayaknya enjoy juga sama kerjaannya. Dia bilang bener-bener pengen ke Bali. Yah, good luck yah Kuang. Semoga mimpimu kecapaian. Jadi disini informal banget suasananya, gak ada barrier buat ngobrol and being friendly. Everyone is friend for a backpacker ;).

Ruangan sangat bersih, sabun sampo ready stock, termasuk handuk dan welcoming drink. Pelayanan yang oke punya untuk harga segitu. Walaupun kamar mandi share di luar tapi lumayan ada air panas. Nyaman sekali lah tidak gaduh seperti yg aku bayangin untuk kawasan deket backpackers hub.

Now saatnya untuk unload koper, planning out mau kemana en rehat. Jam udah sekitar jam 5 dan baring-baring dulu setelah ganti baju. Momen-momen kenalan berlangsung sangat lancar. Dua wong K-Pop alias Korea: Jung dan Hyong (kebetulan aja sama-sama dari Korea tapi mereka gaak travel bareng, fyi). Lalu lanjut dengan temen jepang Kazu yang pernah kerja di Indonesia 6 bulan dengan cerita2 gokilnya karena musti kerja bolak-balik Cibubur (rumah) ke Bogor (kantor). Gaduhhh nih jobnya. Hahaha. Asyiknya ngobrol sama mereka walaupun lebih seru lagi kalau ada cewek atau bule. But anyway, saatnya jalan-jalan cari makan. Karena Syamil muslim taat. Aku anterin dia cari makanan halal di deket Benh Tanh Market yang dikelilingi taman surgawi hahah. Itu enaknya jalan di Ho Chi Minh. Kalau capek tinggal duduk-duduklah di taman kota yang rame dan nyaman. Agak sedikit lebih mahal harga makanannya karena bukan makanan lazim Vietnam. Harga sekali duduk sekitar 70ribu Dong.

Selanjutnya cuba-cuba tawar menawar di Benh Tanh Market. Unbelievable di celoteh selanjutnya.

Part 6-- Nyebrang Jalan

Ini dia 'cuman'nya Ho Chi Minh City. HCMC itu asyik, sejuk, friendly dan amboi tapi kamu bakal syok pas turun dari bis kota. Ada ratusan ribu hmmm yang akan menyambutmu.... Dan hmmm itu adalah sepeda motor. Palembang? Kalah telak. Jogja? Belum seberapa kalau dibandingkan dengan pengendara 'ugal-ugalan' di jalanan HCMC. Ngebut sih enggak yah, cuman buanyaknya itu lohh. Sama satu lagi, mereka bisa dateng dari segala arah, jadi kalau nyebrang kepala mutar 360 derajat biar aman. Asli, seriusan. Tidak jarang ngeliat bule yang histeris pas nyebrang di sela-sela motor yang sedang berebut space buat lewat. Mereka gak sangar sih.. gak kayak di Palembang kalau kita salah nyebrang, bisa diteriaki hahaha (pengalaman pribadi). Kalau di Vietnam mereka cuman senyum geli liat kita kesusahan nyelip-nyelip (pengen gw garuk rasanya muka mereka pas senyum kegelian kayak gitu, hahah no offence).

Trotoar luas pun, kadang-kadang bisa jadi area jalan tambahan. Jadi musti perlu ekstra hati-hati. No panic, no pain. Keep cool aja. Pertama-tama syok, lama-lama asyik juga, now I cannot live without it here. Lol

So anyway, dengan mengandalkan insting geografis kami yang yahood (ya, kami --Syamil join the trip). Kami sampai di Jalan Pham Ngu lao. Dengan PDnya kusibakkan ponsel cerdasku dan berharap melihat screenshoot bookingku. Dan... what?? Nama hotelnya gak ke capture. Aihhh. Susah memang kalau kejeniusanku ini terinfeksi kecupuan mendalam. Mateng. Mateng!

Solution: coba2 cari wifi gratis buat buka emailku dari agoda dot com. Dapet! Aihh, holywood nian kisah ini. Si Syamil yang bediri deket pohon udah harap-harap cemas apakah saya akan selamat hahaha. Eh, memang insting geo yang dahsyat, ternyata hostel tempat aku menginap itu adalah tepat di depan kami. Pantesan resepsionisnya dari tadi senyam senyum dari Pintu kaca depan hostel(ya... orang Vietnam suka senyum kayak gw) tapi ragu mau menyapa. Hiss, jahil hahaa.

Check in time. Saya pilih dormitory room yang artinya sekamar buat rame-rame cowok cewek, ada 12 ranjang dan berbagai warga negara. Ak bayar 4 koma sekian dollar amrik semalem, sebuah harga yang sangat kecil untuk manfaat mengenal sahabat dari segala belahan dunia dan jadi teman afterward. Dan bener aja gak sampai dua jam, ngobrol sama orang Jepang, Perancis, de el el. Dalam setting inilah saya mengenal dan berkisah kasih dengan pujaan hati si Oli bidadariku dari Perancis hahhaa.

Soal Oli, sayang banget dia gak bisa ikut trip ini, karena she's getting ready to Aussie soon. Well, good luck honey. I miss you too bad. Nah, buat cerita jalan-jalan kemana, makan apa, mandi pake sabun apa.... baca di next post....

Part 5-- Perjalanan dan Kawan

Tuesday, December 30, 2014

Bus di Vietnam cukup nyaman, hm maksud saya sangat nyaman dibanding dengan bis-bis kota reguler yang pernah saya naiki di kota lain di Asean termasuk Jakarta atau Tangerang. Mirip di Bangkok, ada bell yang boleh dipencet kapan saja dimana saja tanda penumpang pengen turun. Yep. Turun sembarangan. Di selokan juga boleh kali yah, heran. Tapi untuk urusan kenyamanan boleh lah yah...

By the way, sebagai apresiasi untuk para malaikat penolongku di bis ini, ak ajak mereka ngobrol. Percobaan pertama bilang makasih (Cam ón dlm Tieng Vet), accepted. Ajak ngobrol Inggris, no English. Ok. Done. Skakmat. No more. Hahha

Mas-masnya, aku bilang makasih. Accepted. Malah dia tanya dalam bahasa Inggris, where are you from? Aha! Indonesia. Cool. 'And you?' 'I am from Malaysia'. (Dalam hati Oooo, dan $#//!&@&^@ ya elaaahh, kirain orang Vietnam gitu). Aku tanya sering ke Vietnam berarti ya (takut miskomunikesyen kami cakap dalam English). Tidak, baru pertama kali. Aku heran kok bisa ngerti mak yang teriak risau itu bilang apa. Ternyata dia juga gak ngerti bahasa Viet. Hahaha mungkin ada ikatan batin antara emak-emak itu dengan kawan Malay ini. Tapi orangnya baik kok. Salut.

Lebih salut karena dia belum tahu mau turun dimana, nginep dimana dst. Secara gw prepared (walaupun suka amnesia ringan ;)), gw bilang kalau aku udah booking online dengan harga bagus di daerah Pham Ngu Lao, Distrik 1, HCMC. Dia juga pengen liat daerahnya kayak apa.

Di dalam bis aku mengagumi kota Ho Chi Minh yg gak pernah aku kebayang sebelumnya. Yahh, dalam pikiranku pasti gaya-gaya kayak kota Asia lah. Bagus.... tapi umpek-umpekkan. Ternyata oh ternyata, tidak demikian. Kotanya rapi, asri, jalan luas dan trotoar lapang ditumbuhi pepohonan asri yang di tanam sama Perancis abad 18. Cuman..... ada cumannya.... di title selanjutnya.

Part 4--Kegokilanpun berlanjut

Senin sore sekitar jam 4 saya pertama kali menapakkan kaki di negeri Indochina ini. Dompet udah full sambil meringis kesenengan, sekarang saya diperhadapkan sama satu dilema. Jujur untuk urusan satu ini saya cukup sebel. Tapi kayaknya emang semua traveller dari kelas teri medan sampai kelas Paus antartika juga mengalami ini: amnesia singkat.

Amnesia? Maksudnya? Untuk pergi ke satu tempat baru tentunya kita gak otomatis tahu segalanya kayak dewa (dewa aja gak gitu kali). Semua orang juga mesti paling gak baca-baca info tempat yang mau kita kunjungi, tul? Nah itu dia. Saya udah bermalam-malam baca deskripsi tempat menawan ini itulah.... Giliran sekarang di depan bandara, mau apa coba? Jawabannya simpel: lupa. Lupa nomor bis berapa, hostel di lorong apa, turun dimana, macem-macem deh pokoknya. Untungnya untuk kasus ini, boleh buka buku contekkan. Gak ada yang larang, ngambek atau ngomel. Buka buku, baca. Penting untuk berpelancong macam ini untuk menggarisbawahi, coret-coret, lipat atau tandai (jangan disobek pastinya) halaman-halaman krusial. In case karena perasaan campur baur, kita jadi lupa daratan haha. Kayak si tampan satu ini. Habis buka buku guide, pandangan jelas ke depan!

Saya jalan ke kanan 100 langkah ...... di depan saya lihat Burger King dan abis itu ada bis nomor 152 ngetem. Aha! Itu dia yang akan membawa saya ke pusat kota HCMC (tau khan ya, gak usah pake kepanjangannya). Nah, salah bis. Bukan salah jurusan, ternyata bis depan ini adalah bis mogok yang lagi diperbaiki. Ya maaf. Khan orang baru. Ok deh, naik bus yang dibelakangnya.

Ahhh.. lega. Memang jauh lebih murah naik bis kota yang deket banget dengan bandara ketimbang taksi. Biayanya cuman 5000 Dong (bagi dua sendiri yah kalau mau tahu rupiahnya). Sedangkan kalau taksi bisa sampai 100 ribu. Orang pintar pilih.... isi sendiri. Sedap, sedap.

Eits tapi nanti dulu. Jangan seneng dulu mas. Ada yang terlewat. Hahaha. Yang ini adalah perpaduan kejeniusan saya yang tercemar dengan kecupuan. Jadi pas lagi duduk-duduk gembira liat-liat daerah sekitar bandara yang asri dan rapi, ada emak-emak Vietnam di bis yang sama berseru dengan risaunya. Sambil melambaikan tangan ke arah saya lagi. Waduhhh... salah apa saya mak (dalam bahasa Indonesianya). Saya jadi ikut risau, namun tak ikut teriak macam beliau.

Adalah satu pahlawan di bus yang jadi penerjemah alias interpreter. Selidik punya selidik ternyata saya harus bayar dulu pas masuk ke bis. Jadi ada 'celengan' di deket kursi pak sopir untuk orang taruh duit, nanti ditukerlah dengan karcis. Aha... menarik juga. Kena deh omelan bapak-bapak sopir Vietnam, tapi muka gue tentram bersinar, jadi bapaknya stop dan senyum balik. Maknyus. Hahaha.

Belum cukup sampai di situ, ada masalah lagi. Hahaha. Memang beneran sebuah perjalanan. Saya sodorkan pecahan 50ribu Dong. Bapaknya mukanya kayak mau nelen gue. Wedew. Nak cakmano lagi babe, mau gimana lagi pak. Jelas2 duit juga baru tarik dari ATM, mana ada recheeh (baca kayak Cinta Laura ya). Si kawan baru yang tadi nolongin saya itu, bantu saya lagi dengan memberikan uang pecahan 5000, ada lagi ibu2 viet yang lain kasih 5000 buat biaya koper yang menutupi jalan. Memang malaikat selalu ada dimana-mana.

Kisah seru akan berlanjut, di bawah judul selanjutnya....

Part 3-- Ho Chi Minh City gokil dari menit pertama

Monday, December 29, 2014

Abis joged joged dalam hati (jangan dibayangin ya), sebagai warga ASEAN yang baik kita akan masuk ke bagian klirens passport. Secara Indonesia salah satu negara Perbara ini, maka saya langsung berbaris khidmat menuju kaunter bertajuk "ASEAN citizen". Mantap juga yahh semangat regionalitas mereka menghadapi masyarakat ekonomi Asean (kode keras).

Pertama kali denger aksen Bahasa Inggris ala Vietnam dari petugas imigrasi gak kaget lah. Secara bro and sis mereka itu pake bahasa rumpun Sino-Tibetan yang banyak nada plus pitch di atas awan yang membuat mereka punya cara bicara khas. Alhasil, kalau English mereka macam itu musti dimaklumi. Pokoknya klw kita mau mengerti harus ada niat baik dan atensi yg fokus. Kalau gak dampaknya bisa sedang bahkan fatal: misalnya salah pesen menu, kesasar de el el. But, seneng akhirnya passpor diketok dan dapet 30 hari izin tinggal.

Nah, you guys pasti masih inget lah ya. Kalau ak belum ada duit Dong sepeserpun. Agak dag dig dug sih waktu cari ATM, ketemu gak ya? Karena ini cerita ala holywood pasti ketemulah somehow hahaha. Tarik duit. Jebreeet. Kaya mendadak. Hahahaa. Pasalnya, 1 rupiah kalau dicairin secara kasarnya jadi 2 Dong. So, yep. Bener. Duit kita jadi dua kali lipat besarnya. Beneran loh. Ini tidak pake jasa dukun, apalagi dukun beranak. Cukup ke Vietnam, duit kita jadi dua kali lipat. But gimana dengan harga-harga di sana?

Baca yahhh di chapter berikutnya....

Part 2-- Kelaperan di Pesawat

Bisa sih dibayar pake rupiah, tapi aku gak mau nyerah! Semangat hemat ketat aku pertahankan supaya bisa bertahan hidup di negeri orang. Singkat cerita, sampai mendarat, aku berhasil belum menggelontorkan dana.

Di Bandara KLIA2 (bandara baru yang super cozy, yang konon justru biaya pembangunannya 23% lebih murah daripada KLIA1), ak segera ngecek sisa ringgit. Ah, lumayan ada belasan. Langsung kepikiran KFC bandara harganya antara 6 s.d. 15 ringgit juga (kompak juga yah bandara sama pesawat bandrol harganya). Ciduk gann, hanya dengan 11 ringgit, saya dapat dua potong ayam, satu nasi tim dan satu cup kecil bakso seafood. Ihirrrr.

Selese makan, saatnya check in buat penerbangan berikutnya ke HCMC alias Saigon. Seperti biasa, nunggu boarding dan akhirnya boarding beneran. Mayoritas penumpangnya orang Vietnam dan beberapa warga Malaysia atau Indonesia. Duduk disamping gue adalah mbak-mbak Malaysia yang super 'ramah'. Kenapa gw lasih tanda petik, karena saking ramahnya kadang-kadang gw gak ngerti dia ngomong apa. Ceritanya, dia kebiasaan ngomong bahasa suku daratan sana, terus mencoba berbahasa melayu. Kandas deh perinsip-perinsip berkomunikasi.

Tapi terhibur kok deket sama mbak ini. Orangnya lucu. Sayang, tanpa sadar aku ketiduran. Beberapa menit setelah ketiduran, pesawat siap mendarat di kota terbesar dan tersibuk di Vietnam: Ho Chi Minh City. Senengnya tuh disini (pake gerakan Cita Citata)...

Lanjut ke Part 3....

Part 1-- Kita mulai dari Palembang yah...

Sesuai sama caption blog ini, emang perjalanan kali ini menantang mental banget. Gimana enggak coba, kemaren (Minggu, 28 Desember) ada berita yang bikin super syok dunia penerbangan, karena salah satu pesawat Airasia hilang saat mengudara. Secara pribadi saya mendoakan sedalam-dalamnya bagi semua orang yang terkena dampak kemalangan ini.

Jujur, agak-agak was was juga sih waktu menyadari kalau hari ini (Senin, 29 Des) saya musti terbang ke KL terus dilanjutin ke Saigon dengan pesawat maskapai tersebut. Sampe ada temen gw berseloroh kalau kayaknya aku niat batalkan perjalanan ini.

Setelah semaleman bolak balik badan di kasur karena perasaan campur-campur kayak nasi campur, maka aku udah bener-bener niat ke Ho Chi Minh. Rute yang kuambil adalah Palembang-KL, KL-Ho Chi Minh. Sampai detik itu aku sama sekali blank, belum kebayang Vietnam tuh kayak apa. Tapi tetep donk, jiwa kepengen bolangku tertantang untuk mengarungi negeri eks jajahan Perancis ini.

Semua udah siap, mulai dari sabun Sinshui kesayanganku sampai passport dan yang paling penting tiket. Tiketnya promo gokil buat yang dari KL ke HCMC cuman sejuta cui sudah pulang pergi. Sebuah godaan yang bakalan nyesel kalau dilewatkan. Walaupun itu berarti mesti bayar biaya gak wajar Palembang ke KL yang lebih dari 2 juta. Pokoknya tebasss brooo.

Setelah berhasil ngerempongin teman2 dekat buat bangunin lah, titip kunci, titip motor sampai titip jemuran, meluncurlah saya diantarkan temen ke Bandara kebanggaan rakyat kita di Palembang, Sultan Mahmud Baddarudin II, berlepas ke KL.

Cuaca mendung-mendung gitu, menambah gelora di jiwa mengingat si awan vertikal Komulunimbus pasti masih nimbrung di cakrawala Sumatera. Tapi que sera sera lah. Semuanya aku pasrahin ke Yang Maha Kuasa. Pokoke joged, maksud penulis, pokoke berangkat.

Bener aja, diatas pesawat, jarak pandang sangat terbatas. Awan kelabu tebal banget membuat sesekali pesawat guncang. Tapi ada lagi sih sebenarnya yang membuat bulu kuduk merinding....
LAPER bosss... udah hampir jam 10.30 dan aku belum nelen makanan apapun. Terus aku lirik-lirik menu, menunya dalam ringgit semua. Yang paling murah 6 Ringgit sampai dengan 15 Ringgit (20ribu s.d. 55rb). Lumayan sihh dan sebenernya aku masih punya ringgit sisa tahun lalu. Tapi aku lupa-lupa inget berapa yah totalnya. Gengsi dong, kalau udah kepedean manggil-manggil mbak-mbak pramugari Airasia yang sangat unyu atau mas-mas pramugara  yang rupawan itu trus duit aku kurang. Mau diturunin dimana muka tampanku ini. Hahahha... (bersambung ke bagian 2...)